«Serba-Serbi Nusantara» – a Textbook for Advanced Indonesian • Lesson 21—“Saman – A Novel by Ayu Utami”
Bacaan
Saman (1)
- Namaku Shakuntala. Ayah dan kakak perempuanku menyebutku sundal.
- Sebab aku telah tidur dengan beberapa lelaki dan beberapa perempuan. Meski tidak menarik bayaran. Kakak dan ayahku tidak menghormatiku. Aku tidak menghormati mereka.
- Sebab bagiku hidup adalah menari dan menari pertama-tama adalah tubuh. Seperti Tuhan baru meniupkan nafas pada hari keempat puluh setelah sel telur dan sperma menjadi gumpalan dalam rahim, maka ruh berhutang pada tubuh.
- Tubuhku menari. Sebab menari adalah eksplorasi yang tak habis-habis dengan kulit dan tulang-tulangku, yang dengannya aku rasakan perih, ngilu, gigil, juga nyaman. Dan kelak ajal. Tubuhku menari. Ia menuruti bukan nafsu melainkan gairah. Yang sublim. Libidinal. Labirin.
- Namaku Shakuntala.
Aku melihat temanku Laila, lewat jendela. Ia muncul dari balik kabut debu yang ditiup angin jalanan. Ia menyembul dari bawah trotoar. Kepalanya lebih dulu, lalu tubuhnya, terakhir kakinya, seperti bayi dilahirkan, dari stasiun metro bawah tanah. Ia melangkah lekas-lekas, tetapi daun-daun kering yang lelarian menyusulnya lalu menari berputar-putar di kavling pasar loak meskipun para pedagang tengah berkemas-kemas pulang. Sudah sore. Lima menit kemudian ia masuk dari balik pintu apartemenku tanpa bunyi lonceng. Lift bobrok itu masih rusak juga. Tak ada belnya. Ia pasti naik tangga. - Aku melihat wajahnya padam seperti api sumbu yang ditangkupkan stoples bening. Aku tidak bertanya ada apa, sebab sesaat lagi ia pasti akan cerita.
- Ia melempar tasnya ke atas babut, dan kertas-kertas di dalamnya bertaburan. Terbang di muka lampu dan membikinnya sesaat redup. Sketsa. Puisi.
- “Dia mati. Dia mati.” Wajahnya seperti lilin yang leleh, sehingga aku khawatir dia akan menjadi lempengan yang segera kembali beku. Aku akan tak bisa menemukan di mana mulut dan bola matanya untuk berkomunikasi.
- “Jadi Sihar tidak datang?”
- “Dia dibunuh. Aku takut dia dibunuh.”
- “Apa?”
- Lalu ia mengungkapkan satu teori bahwa kekasihnya ditikam oleh pembunuh suruhan seorang pejabat. Tukang jagal imbalan atau sekadar prajurit. Sulit buatku untuk percaya. Bukan karena itu mustahil. Aku pernah membaca tentang Dietje, peragawati yang dibunuh dekat pagar kawat kebun karet Kalibata. Juga Marsinah, buruh yang dirajam hingga tulang dalam rahimnya retak. Cuma, selama ini aku selalu merasa bahwa kekejaman tak akan terjadi pada orang di sekitarku. Pembunuhan adalah seperti malaikat dia ada tapi sungguh jauh, tak akan datang kepadaku, atau orang-orang di dekatku. Tapi, apa yang membuatnya mustahil? Kemudian aku mulai percaya, sebab belum pernah kulihat temanku segetas itu. Badannya menggigil. New York di bulan Mei memang masih dingin. Tapi ia pucat bagai cicak, yang tak hidup di kota ini. Kuseduhkan sekantong Starbuck Jamaica dengan susu nonfat encer. Aku percaya kafein memompa darah dan susu menenangkan kegelisahan. Aku juga percaya pada usia tiga puluh orang harus mulai menghindari lemak. Temanku itu harus berdiet. la mulai gemuk. Lehernya mulai berlipat. Ia tak boleh minum susu fulkrim.
- “Kamu sudah pastikan beritanya?”
- la menggeleng. “Orang di kantornya tidak mau cerita. Mungkin mereka khawatir untuk menyampaikan kabar begitu. Lagipula, masih terlalu pagi di sana…”
- “Tala,” ia panggil aku lagi, “Tolong aku, dong! Tolong teleponkan rumahnya, ke Jakarta, ada kabar apa…?
- Aku mahir mengubah suaraku. Kadang aku ini kera Sugriwa dengan geram egresif maupun ingresif dalam trachea. Kali lain aku adalah Cangik yang suaranya yang klemak-klemek seperti kulit ketiaknya yang lembek. Ketika remaja aku selalu menari sebagai Arjuna dalam Wayang Orang, dan gadis-gadis memujaku sebab tanpa sadar mereka tak menemukan sisa-sisa femininiti dalam diriku. Tapi aku juga Drupadi, yang memurubkan gairah pada kelima pandawa. Selama di New York, aku pernah mendapat cukup uang tambahan dari mengisi suara film animasi eksperimental. Lantas, jika orang sanggup menyetel rongga artikulasinya seperti memutar kanal radio, apa sulitnya menjadi laki-laki? Meskipun yang menerima telepon bukan istrinya, aku sudah telanjur menjadi pria Amerika. Setelah itu kuhampiri temanku yang telungkup di sofa dengan dua lembar sketsa dan gurat-gurat yang teracak seperti sia-sia: Kuinginkan mulut yang haus/ dari lelaki yang kehilangan masa remajanya/ di antara pasir-pasir tempat ia menyisir arus.
- “Sihar tidak mati,” kataku agak kecewa. Ya, aku kecewa.
- Laila menatapku, lega dan berharap.
- Aku melanjutkan: “Dia ada di hotel Days Inn. 57th Street, West.” “Sama istrinya.”
- Mukanya berubah, seperti semangkuk sup panas dan sepotong kerupuk dicemplungkan ke sana. Ada energi yang bertubrukan, lalu layu. Temanku itu memang cuma punya dua tawaran yang tak enak: kematian atau pengingkaran. Kenyataan menyodorkan yang kedua.
***
Latihan Pemahaman
Latihan Isian 1
Latihan Isian 2
Latihan Kosa Kata
The following words are frequently used words that every advanced learner of the Indonesian language should now. Make sure to memorise them thoroughly.
Teka-Teki Mencari Kata
Usahakan untuk menyelesaikan teka-teki ini dalam waktu kurang dari 2 menit 30 detik.