Comprehension - Pemahaman

Hidung (Bagian 1)

[1] Melihat bentuk hidungnya yang kurang mancung, Nani memutuskan, hidungnya harus dioperasi. Tidak setengah-setengah, ia berangkat ke Eropa, mencari dokter yang paling ahli. Minta hidungnya ditinggikan beberapa derajat lebih ke atas.


[2] Dokter tidak segera memperbaiki hidung Nani. Lebih dahulu ia mewawancarai pasiennya.

“Mengapa Anda menginginkan operasi plastik?”
“Karena saya mencintai segala sesuatu yang artistik, Dokter.”
“Tapi Anda sudah artistik sekali. Anda cantik sekali.”
“Terima kasih banyak, Dokter. Saya tahu. Tetapi situasi dan kondisi di negara saya lain. Kami memiliki pendapat artistik yang berbeda. Apa yang menurut Anda bagus, buat kami mungkin tidak bagus. Dan apa yang untuk Anda biasa-biasa saja, kami anggap sangat bagus. Artistik atau tidak artistik itu kadang-kadang masalah psikologis. Terus-terang, karena sudah terlalu lama dijajah, buat kami apa yang datang dari Barat memiliki nilai lebih. Dengan satu kata: kemajuan. Ini memang tidak baik, tetapi di sana kami percaya begitu. Dokter mengerti, bukan?”

[3] Dokter itu mencoba untuk mengerti.

“Tapi mengapa hidung?”
“Yah, itu juga menurut situasi dan kondisi, Dokter. Terus-terang, saya ingin kelihatan modern. Saya tinggal di kota metropolitan, di tengah-tengah budaya sub-culture, jadi saya harus sesuai dengan lingkungan saya itu. Dokter mengerti, bukan?"

[4] Dokter itu kelihatan bingung.

“Baik. Begini, Dokter. Saya sekarang tinggal di Jakarta, ibukota Indonesia, yang sibuk dan ramai sekali. Saya bekerja dalam bisnis metropolitan dan bertemu dengan orang-orang kelas atas. Saya tidak mau kelihatan kampungan, walaupun saya memang berasal dari kampung. Nah, kemudian, ini menjadi masalah psikologis. Hidung itu barang yang paling cepat memberikan kesan negatif atau positif di negara saya. Karena hidung saya pesek, yang masih seperti hidung kera, bos-bos besar tidak mau percaya pada saya. Jadi saya terpaksa mengambil keputusan untuk sedikit memperbaiki hidung saya. Jadi operasi ini memiliki motivasi artistik dan komersial. Sekarang Dokter mengerti?”

[5] Dokter mulai tersenyum.

“Jadi hidung yang Anda cari itu hidung komersial?”
“Kira-kira begitu. Dokter pernah menonton film Indonesia?”
“Belum. Indonesia itu di mana?”
“Dokter tahu Bali?”
[6] Nani menunjukkan sedikit gerakan tari Bali.
“O Bali, tentu saja!”
“Bali itu di Indonesia.”
“O, Anda berasal dari Bali?”
“Bukan. Saya orang Indonesia. Bali itu hanya sebagian kecil dari Indonesia. Indonesia itu negara yang paling besar di Asia Tenggara. Orangnya juga paling banyak. Kami sekarang 170 juta orang. Negara Anda ini kalah jauh sekali.”
“Seratus tujuh puluh juta, oh?”
“Ya, kami semua seratus tujuh puluh juta orang. Tujuh puluh lima persen kami berhidung pesek. Di salah satu pulau kami yang besar, namanya pulau Jawa, hanya raja-raja dan keluarganya yang memiliki hidung mancung. Bisnis film kami maju sekali. Kalau Anda menjadi bintang film Anda bisa kaya sekali. Tetapi kalau Anda mau menjadi bintang film Anda harus berhidung mancung. Para kritikus mengatakan, wajah film kami itu wajah Indo, artinya wajah orang kulit putih dengan hidung panjang-panjang. Anda tentu tidak mengerti lagi apa yang saya katakan ini. Pokoknya begini, hidung itu barang penting dalam masyarakat sekarang. Lebih mancung lebih modern dan lebih tinggi kelasnya. Dokter mengerti?”

[7] Kelihatannya dokter itu mengerti.

“Apakah Dokter masih mau bertanya lagi?”
“Jadi, motivasi Anda artistik, komersial, psikologis dan kontekstual?”
“Betul. Saya ingin hidung yang universal.”