«Serba-Serbi Nusantara» – a Textbook for Advanced Indonesian • Lesson 23—“Jakarta: A Melting Pot”
Perkenalan
Teks ini yang ditulis oleh wartawan dan sastrawan Goenawan Muhamad bersifat sejarah. Oleh sebab itu dianjurkan supaya Anda terlebih dahulu membaca kedua artikel berikut. Bacaan pertama mengenai Jan Pieterszoon Coen, dan bacaan kedua mengenai kota Batavia.
Pertanyaan
Apakah Anda sudah membaca kedua bacaan mengenai Jan Pieterszoon Coen dan Kota Batavia?
Kalau sudah, mestinya Anda sudah bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut. Kalau belum, coba menjawabnya sekarang. Lalu baca artikelnya dan kembali ke sini lagi untuk mencoba untuk kedua kalinya.
- Apakah Anda tahu di mana kota Batavia? Apa namanya sekarang?
- Suku apa saja yang mendiami Batavia?
- Bahasa apa yang dipakai di Batavia?
- Suku apa yang tinggal di sekeliling Batavia?
- Suku mana yang tidak termasuk bumiputra?
Asam di Gunung
One key element of the article is the proverb “Asam di gunung, garam di laut, bertemu dalam belanga.” Asam is an important ingredient in the Indonesian cuisine used to add sourness to a dish. There are many kinds of asam including asam Jawa, asam belimbing, asam kandis, and asam gelugur. Asam Jawa (tamarind) is the only one that is widely known outside of Southeast Asia.
The various asam trees tend to grow inlands. Asam gelugur, for instance, prefers altitudes between 400-1200 m above sea level. Asam is hence used as a metaphor for someone who lives in the mountains. Such a person tends to have a different ethnicity than someone from the coast where salt is produced. The proverb is used in the marriage of a couple of different ethnic backgrounds. Like the asam from the mountains, and the salt from the sea, they eventually are united in a cooking pot made of clay (belanga), which symbolises the family.
In this article the metaphor is extended to a larger community such as the multi-ethnic society of Jakarta which has become the melting pot for people from all parts of the archipelago.
Bacaan
-
Enam tahun setelah Jan Pieterszoon Coen meninggal di tengah kepungan tentara Mataram, 35 tahun setelah ia mendirikan Batavia di atas puing pertempuran dengan orang Inggris, VOC membangun enam benteng kecil di bekas wilayah kerajaan Banten yang dikuasainya. Letak masing-masing sejauh dua kilo dari pusat, seperti menghadang tanah dan sawah di sekitar.
- Pada 1656 itu, penduduk yang disebut “Jawa” dilarang hidup di dalam wilayah yang dilindungi tembok kota. Mereka ditempatkan di luar, di beberapa lokasi di wilayah Ommelanden itu. Sejarawan Remco Raben (yang menulis sebuah esei yang sangat informatif dalam Jakarta-Batavia: Socio-cultural Essays, KITLV: 2000) menyebut kejadian itu salah satu “perkembangan yang… mengubah penampilan Batavia secara dramatis.”
- Kemudian didatangkanlah orang-orang dari Ambon yang jadi tentara VOC. Mereka diberi tanah di perbatasan timur dengan Krawang. Setelah itu, dimasukkan orang Bugis dan Makassar. Juga para bekas pembangkang yang takluk, seperti pasukan Bali yang pada 1708 menyerah. Kampung-kampung pun dibentuk.
- Dan penduduk pun bertambah. Bersama itu, ketenteraman mulai terganggu. Pada 1686, sebuah gardu kumpeni diserang sejumlah besar “bandit” asal Bali. Dengan segera penguasa Batavia pun mengubah cara kontrolnya. Tiap komunitas diberi sepetak wilayah. Masing-masing dipimpin orang yang diangkat VOC dengan pangkat militer. Para penghuni dijauhkan dari pusat kota, harus bisa menopang sendiri hidup mereka, tapi selalu siap dimobilisasi untuk perang. Pada 1773 tercatat 17 kampung yang dipimpin “opsir bumiputra”: antara lain dua kampung Jawa, lima Bali, tiga Bugis, satu Makassar, satu Melayu, satu Ambon — dengan nama yang masih terdengar sampai hari ini.
- Tapi, menurut Raben, segregasi dari atas itu tak berjalan sesuai rencana. Peraturan VOC itu praktis gagal. Para pemuda yang diberangkatkan perang tak selamanya mau kembali ke kampung asal mereka. Para opsir memperluas tanah milik, sering menjauh dari pusat, dan tanah pribadi itu punya pilihan pemukiman tersendiri.
- Tentu saja garis besar peta demografi tetap. Orang “Jawa” tinggal di arah perbatasan barat dan timur. Orang “Eropa” merapat ke pusat, mendirikan rumah tetirah mereka di tepi Ciliwung. Orang Cina — yang kebanyakan bekerja di ke-80 pabrik gula di wilayah sekitar itu — mencari lingkungan yang berhutan. Sementara itu, orang Bali, Bugis, Makassar dan lainnya tak begitu jelas pola tinggal mereka.
- Pada akhirnya kerancuan terjadi — kerancuan selalu terjadi. Kekuasaan, dengan bedil dan buku, akhirnya hanya mirip deretan benteng darurat di luar tembok kota: ada jarak antara mereka dan pedalaman yang menyimpan pelbagai ketakmungkinan.
- Dalam catatan Raben, pemasangan label etnis oleh VOC pada penduduk “bumiputra” tak pernah pas. Label itu tak mencerminkan, dan tak pula membangkitkan, perasaan kesukuan atau seasal-usul. Pertalian sosial ternyata tak berdasarkan “daerah” — mungkin karena definisi “daerah” juga hanya konstruksi administrasi.
- Raben memberi contoh orang-orang “Ambon”. Rombongan pertama sebenarnya berasal dari pelbagai pulau di kepulauan Ambon. Pada 1671 terjadi perkelahian antara mereka sendiri — antara yang Kristen dan yang Muslim. Mirip dengan itu, pada 1686, insiden meletus antara orang Bali yang lahir dan dibesarkan di Batavia dan orang Bali yang baru datang. Mereka tak hendak tinggal sekampung.
- Yang lebih rawan dan ambigu hubungan antara orang Tionghwa dan penduduk lain, khususnya yang Muslim. Oktober 1740, terjadi pemberontakan penduduk Cina terhadap VOC. Seorang pemimpinnya, Khe, punya ajudan seorang Cirebon yang disebut “Pangeran Dipati”. Tapi tak banyak orang yang bukan Tionghwa yang memihak mereka. Mungkin karena tak merasa senasib, mungkin juga karena para pembangkang dianggap “bangsa” lain, ”suku“ lain.
- Tapi apa sebenarnya “suku”? Saya tak tahu batasannya dan tak tahu kapan kata itu masuk dalam percakapan sosial-politik Indonesia. Pada 1701, dan ditegaskan lagi pada peraturan bertahun 1766, pemerintah kolonial melarang perkawinan antara golongan etnis yang berbeda. Tapi penduduk tak benar-benar taat, dan pelanggaran tak pernah dihukum. Tak semua orang, yang umumnya berhubungan dengan bahasa yang sama, bahasa Melayu, menyandang labelnya sendiri dengan mantap.
- Raben punya kasus menarik: pada 1781, Hauwa, perempuan asal Bima. membuat surat wasiat di depan notaris. Ia dibantu dua orang Bali tetangganya, Samsuddin dan Nyoman. Dalam wasiatnya Hauwa menyebut Ma Samuel sebagai pewaris hartanya; ia perempuan Bugis.
- Dalam hidup nenek moyang kita, hampir dua abad mendahului Sumpah Pemuda 1928, sesuatu yang mirip cerita kuliner terjadi: asam di gunung, garam di laut, bertemu dalam belanga. Ada asam, ada garam — masing-masing terpisah-pisah — tapi kecuali itu ada kerja. Asam didatangkan dari pohon di dataran tinggi; garam dibawa dari kawah lumpur atau pantai datar. Kemudian sesuatu berlangsung dan sesuatu berubah. Tak ada lagi pucuk, tak ada lagi laut, tak ada lagi batas, kecuali batas yang sementara: belanga.
- Dan belanga adalah wadah yang dibuat dari tanah, dipasang di dapur, dengan api, kayu bakar, arang, asap, debu — karena rasa lapar, karena kreatifitas yang lahir dari lapar dan menggerakkan tangan dan mengeluarkan keringat. Dalam hal itu sejarah sebuah bangsa juga sejarah kebudayaan: cerita tentang lapar, tentang kreatifitas dan tangan dan keringat manusia yang menembus batas.
Latihan Pemahaman
Latihan Kosa Kata
Arti Kata
Pekerjaan Rumah
Consult a good Indonesian grammar, preferably Sneddon’s Indonesian Reference Grammar. Read through the chapters covering the suffixes -kan and -i. Compare memasukkan and memasuki, menempatkan and menempati, mendatangkan and mendatangi, menjauhkan and menjauhi. Then search site:kompas.com for sentences containing the above words. For each word chose a sentence in active voice (e.g. mendatangi), and one in passive voice (e.g. didatangi / datangi) so that you have a total of 16 sentences. Translate the sentences.
Kosa Kata
The following words are important and frequently occurring words that you need to know. Click on “Balik” to flip the card. Memorise them thorougly.
Teka-Teki Mencari Kata
Usahakan untuk menyelesaikan teka-teki ini dalam waktu kurang dari 2 menit 30 detik.