«Serba-Serbi Nusantara» – a Textbook for Advanced Indonesian • Lesson 18—“Dutch War Crimes in Aceh 1873-1904.”
Pertanyaan
1. Berapa lama Indonesia dijajah Belanda?
2. Daerah mana yang dianggap Belanda paling penting?
3. Bagaimana dengan daerah lain?
4. Bagaimana dengan Sumatra? Apakah Belanda tertarik untuk menjajah Sumatra?
5. Niat Belanda untuk menjajah daerah baru ditentukan oleh faktor apa?
6. Bagaimana sejarah penjajahan, terutama selama zaman imperialisme?
7. Bagaimana dampak terbukanya terusan Suez bagi perdagangan Nusantara?
Background
The Aceh War (1873 – 1904″>
Before you start reading the text, you need some background information. Read the Wikipedia article Aceh War or at least the much shorter entry in the Encyclopaedia Britannica.
Attacking the Dutch Supply Lines
The article mentions pembongkaran rel kereta api (demolishing the railway track) by the Acehnese insurgents. Starting in 1876, a railway was built for military purpose that was finalised in 1914 with a total length of 502 kms. It is the only railway in the Dutch East Indies that has been constructed by the Ministry of War. The Acehnese insurgents targeted the supply lines of the military by taking down telegraph masts and demolishing railway tracks.
Westerling
Raymond Pierre Paul Westerling (31 August 1919 – 26 November 1987), nicknamed the Turk, was a Dutch military officer of the KNIL (Royal Netherlands East Indies Army). He committed a massacre in Sulawesi during the Indonesian National Revolution after World War II and was responsible for a coup attempt against the Indonesian government in January 1950, a month after the official transfer of sovereignty. Both actions were denounced as war crimes by the Indonesian authorities.
Hans Christoffel
Hans Christoffel (1865 – 1962) was one of the highest decorated Dutch military officer. Christoffel was born in Switzerland. 1865 he moved to Hamburg where he enlisted into the Dutch colonial army. He arrived in the Dutch East Indies in 1886 and was deployed in Aceh, Kalimantan and Sulawesi. In Aceh, Christoffel led a unit which was named The Tiger Squad. Members of his squad wore red neckerchiefs to signal the enemy that blood will be spilled. He was known as one of the most merciless officers in the Dutch army. He later retired in Antwerp, Belgia, converted to Buddhism, and became a pacifist. His huge collection of weapons and cultural artefacts from the battle fields is now in the Museum aan de Stroom.
Singamangaraja XII
Si Singamangaraja XII (1849 – 17 June 1907), was the last priest-king of the Batak peoples of north Sumatra. In the course of fighting a lengthy guerrilla war against the Dutch colonisation of Sumatra from 1878 onwards, he was killed in a skirmish with Dutch troops led by Captain Hans Christoffel in 1907. He was declared a National Hero of Indonesia in 1961 for his resistance to Dutch colonialism.
General van Daalen
Gotfried Coenraad Ernst van Daalen (23 March 1863 – 22 February 1930) was a Eurasian Lieutenant General of the Royal Dutch East Indies Army. Van Daalen’s “Gajo-, Alas-, and Batak Campaign” of the Aceh War in 1904 is mostly remembered for his hard crack down of the last Acehnese and Batak pockets of resistance. Van Daalen was just as brutal, ruthless and merciless as Christoffel. Particularly the battle at Kutö Réh stood out, as the rebels refused to surrender and the death toll of 561 fighters included 189 women and 59 children. Despite his crimes against humanity, he was appointed Governor of Aceh from 1905 until 1908.
Straapan
The word straapan is an alternative and slightly outdated form of setrapan (convict) is derived from the Dutch word straaf (punishment) with attached suffix -an. Menyetrap (to punish, discipline) is colloquial for menghukum, but generally used for children either domestically or in school. It is not a legal term. A total of 450 convict labourers joined van Daalen’ expedition to pacify central Aceh, where the Gayo and Alas people lived. The Gayo and Alas are, just like the Acehnese, Muslims, but they speak different languages. The Alas language is very closely related to the Batak languages.
Marsose
The word marsose is derived from Dutch Korps Marechaussee te voet (literally “marshal corps on foot”) — a colonial gendarmerie of the Royal Netherlands East Indies Army (KNIL), principally used for counter-insurgency in the Dutch East Indies.
Bacaan
Kejahatan Perang Belanda di Aceh
- 75.000 orang Aceh terbunuh oleh serdadu-serdadu Belanda, terutama oleh Korps Marsose, selama Perang Aceh.
- tirto.id – “Belanda mengirim pasukan Marsose ke Aceh, menewaskan sekitar 75.000 rakyat Aceh atau 15 persen penduduk wilayah itu. Tindakan kekerasan itu diambil untuk mempertahankan stabilitas politik dan keamanan di wilayah Hindia Belanda,” tulis Asvi Warman Adam dalam Membongkar Manipulasi Sejarah: Kontroversi Pelaku dan Peristiwa (2009) dan Soeharto: Sisi Gelap Sejarah Indonesia (2004).
- Jumlah korban dalam Perang Aceh (1873-1904) ini melebihi jumlah korban pasukan Raymond Westerling di Sulawesi Selatan, yang disebut-sebut sekitar 40.000 orang.
- Angka yang dipakai Asvi ini persis sebagaimana ditulis sejarawan Henk Schulte Nordholt dalam artikel “A Genealogy of Violence” dalam Roots of Violence in Indonesia (2002) suntingan Freek Colombijn & J. Thomas Lindblad. Nordholt memberi contoh bahwa 75.000 orang Aceh terbunuh oleh serdadu-serdadu kolonial Belanda dalam rangka usaha Belanda menguasai Aceh. Sebagian dari mereka terbunuh oleh satuan khusus bernama Marsose.
- Nordholt memperkirakan bahwa antara 1871 hingga 1910, sekitar 125.000 orang terbunuh. Angka ini melebihi jumlah penduduk kota Semarang pada 1910. Kira-kira dalam waktu hampir 40 tahun, militer Belanda telah membunuh orang satu kota.
- Letnan Kolonel Gotfried Coenraad Ernst van Daalen adalah komandan dalam ekspedisi pembantaian di Tanah Gayo dan Tanah Alas pada tahun 1904. Perwira kelahiran 23 Maret 1863 di Makassar dan tutup usia pada 22 Februari 1930 di Den Haag ini aslinya bukan infanteri alias pasukan jalan kaki. Berdasarkan Encyclopædie van Nederlandsch-Indië 6 (1932) G.C.E. van Daalen semula belajar sebagai kadet persenjataan artileri (pasukan meriam) di akademi militer. Perang Aceh membuatnya harus memimpin pasukan Marsose.
- Dari sekian banyak perwira KNIL yang bertugas di Aceh, van Daalen adalah perwira yang paham bahasa Aceh. Ayahnya, yang bernama sama dengannya, adalah Kapten KNIL yang pernah dinas di Aceh.
- Dalam ekspedisi ke Gayo, menurut Paul van ‘t Veer dalam Perang Aceh: Kisah Kegagalan Snouck Hurgronje (1985), van Daalen membawahi 10 brigade Marsose—sama dengan 200 orang serdadu bawahan—dengan 12 perwira dan diiringi 450 straapan (orang hukuman yang dijadikan kuli).
- Ekspedisi itu berakhir pada 24 Juni 1904. Skala korbannya: 2.902 orang Aceh terbunuh, dan 1.159 di antaranya perempuan. Sementara di pihak van Daalen ada 26 orang terbunuh.
- Soal orang-orang Gayo yang disatroni Marsose, van ‘t Veer menulis: “Mereka menyambut Marsose dengan mengucapkan ayat-ayat suci dan mengenakan pakaian putih, seakan melambangkan bahwa mereka telah bersiap untuk mati”.
- Di Kuta Reh, seperti disebut dalam laporan perwira bernama Kempees, van ‘t Veer menulis, “Sebelum serangan dimulai, terdengar bagaimana orang berdoa dan berzikir. Kemudian mulailah pembantaian”.
- Paul van ‘t Veer tak percaya bahwa van Daalen mengaku mau bertanggung jawab dalam suratnya kepada JB van Heutsz, gubernur militer Aceh sejak 1899, yang lantas jadi gubernur Hindia Belanda setelah menaklukkan Aceh (1904–1909).
- Tapi masalahnya, dalam otak Van Daalen, kekerasan serta kekejaman adalah sebuah sistem. Bagi van Daalen, kekerasan karena kecerobohan, main gampangan, atau sadisme sangatlah dibencinya.
- “Kekejaman yang ‘tidak disengaja’, baginya, menjadi kejahatan yang paling besar,” tulis van ‘t Veer. Kasarannya, van Daalen memaklumi kekerasan dan kekejaman selama itu bagian dari sistem.
- “Pembunuhan besar-besaran yang tiada taranya. Foto-fotonya enam puluh tahun sesudah peristiwa tak mungkin dilihat tanpa merasa ngeri. […] Van Daalen, yang sama sekali tidak merasa malu atas tindakannya, justru bangga atas keberhasilannya,” tulis van ‘t Veer dalam Perang Aceh.
- Namun, meski van Heutsz telah menaklukkan seluruh wilayah Aceh pada 1904, dan ia diangkat ke Batavia untuk menjadi gubernur Hindia Belanda, perang gerilya dalam skala kecil masih sering terjadi.
- Teuku Ibrahim Alfian dalam Perang di Jalan Allah: Perang Aceh, 1873-1912 (1987) menulis bahwa Letnan Kolonel Swart, gubernur sipil dan militer yang baru di Aceh, menugaskan dua opsir marsose, Kapten Christoffel dan Kapten Scheepens. Keduanya dikenal memahami seluk-beluk Aceh, dan diminta pergi ke daerah Lhoksukon (kini bagian Aceh Utara) untuk menghabisi “barisan-barisan muslimin”. Begitulah, catat Alfian, sebanyak 137 orang Aceh dibunuh pada paruh kedua 1908.
- Dalam sejarah Marsose dan Perang Aceh, Hans Christoffel adalah sosok menarik. “Hans Christoffel […] kelahiran Swiss. Ia seorang yang berwatak sangat keras dan kejam tak mengenal ampun,” tulis Henri Carel Zentgraaff dalam “Aceh (1983)”.
- Kapten Hans Christoffel adalah seorang pencari jejak yang tekun dan pawang hutan yang ulung. Tiga tahun setelah ekspedisi Gayo Alas, pada 1907, ia memimpin pasukan Marsose untuk menyergap Sisingamangaraja XII di Kabupaten Dairi, Sumatera Utara.
- Paul van ‘t Veer juga mencatat cerita Letkol Swart mengenai Kapten Christoffel, yang mendapat perintah pada 1907 untuk mematahkan perlawanan di Keureuto dan sekitarnya (kini bagian dari Aceh Utara).
- Swart berkata kepada si kapten: “Kau usahakan pemberontakan berakhir di daerah ini, dan dalam hal ini kau boleh bertindak keras sekali.”
- “Bereslah,” kata Christoffel. Ucapan beres, dalam catatan Zentgraaff, berarti tindakan “kekerasan yang teramat sangat, yang dilakukan secara sistematis.” Pendeknya, sebuah parade pembantaian.
- Cerita lain yang dicatat van ‘t Veer ketika Christoffel harus mengakhiri aksi pembongkaran rel kereta api yang dilakukan orang-orang Aceh.
- “Malam-malam ia memeriksa rumah-rumah kampung sepanjang jalan kereta api. Bila sang suami tak di rumah, pintunya diberi tanda silang dengan kapur,” tulis van ‘t Veer. Esoknya, pagi-pagi buta, rumah-rumah itu disatroni lagi. Jika si suami tak bisa memberi keterangan memuaskan soal apa yang dilakukannya pada malam hari, Christoffel dan pasukannya tak segan mencabut nyawa mereka. […] (tirto.id – pet/fhr)
Parade Pembantaian
Isian 1
Isian 2
Isian 3
kekerasan | tindakan | menyambut | mengenakan | perlawanan |
membenci | membongkar | mencabut | menghabisi | nyawa |
Arti Kata 1
Arti Kata 2
Padan Kata
Kosa Kata
Ulas dan hafalkan kosa kata di bawah ini.
Teka-Teki Mencari Kata
Usahakan untuk menyelesaikan teka-teki ini dalam waktu kurang dari 4 menit.