«Serba-Serbi Nusantara» – a Textbook for Advanced Indonesian • “LGBT Rights & Indonesian Universities”
Perkenalan
Artikel berikut ditulis oleh Nadya Karima Melati (Nadyazura). Nadyazura lahir di Jakarta pada tanggal 3 Mei 1994 dan menyelesaikan studi sarjana di jurusan Ilmu Sejarah Universitas Indonesia. Tertarik pada isu feminisme dalam kajian ilmu sosial-humaniora dan pernah belajar menulis dengan prespektif gender bersama Jurnal Perempuan. Saat ini Nadyazura bekerja sebagai penulis esai populer dan peneliti lepas bersama organisasi Support Group and Resource Center in Sexuality Studies (SGRC Indonesia). Untuk kontak lebih lanjut silakan hubungi @Nadyazura di media sosial.
Pertanyaan Prabaca
Jawablah pertanyaan-pertanyaan di bawah ini sebelum membaca teks.
- Where do you expect opposition against LGBTs is not coming from? a) Political parties, b) religious organisations, c) universities, or d) cultural organisations
- Look at the title. What does the title in respect to above question suggests?
- According to OECD data, the percentage of 25-34 year olds that have obtained at least a 4-year tertiary degree or its equivalent is highest in Russia and Lithuania (over 50%), followed by Switzerland, South Korea, Luxembourg, Netherlands, Belgium, Poland, United Kingdom and Finland (over 40%). Australia occupies the 14th (39%), and the United States the 18th place (36%). What do you think is the percentage of Indonesian high school students that pursue a tertiary degree?
- To your knowledge, or in your opinion, which of the following countries has the highest, and which the lowest tuition fees? a) Australia, b) France, c) Germany, d) Indonesia, e) Japan, or f) the United States?
- Is same-sex intercourse legal in Indonesia?
- Are there any Muslim countries where same-sex intercourse is legal?
- Do some ethnic group in Indonesia recognise more than two genders?
Tuition Fees in Indonesia
If you are from a poor family, studying at a state university in Indonesia can cost next to nothing, but if you are from a wealthy family you can easily pay up to USD 2000 per year.
But even when poor families are exempted from tuition fees, the living costs can become unaffordable. The cheapest dorm in Yogyakarta costs Rp. 400,000 (USD 30) per month, and when you add the other living expenses, one pays at least 1 million (USD 90) per month. The average student in Yogyakarta has living expenses between USD 150 and 200, which is substantial in a country where the average salary of a high school teacher is about USD 200.
Wealthy Indonesians can easily afford sending their children to Australian universities, and the very rich are not even put off by the exorbitant tuition fees of American universities.
Many Indonesians who want to provide their children with first-class education without breaking the bank, send their children to countries where universities are free. In many European countries, including Germany, France, and all Scandinavian countries, universities do not charge any tuition fees. In most cases even international students can study for free. This is one of the reasons that German universities are popular among Indonesians. Tuition is free and living costs are much less than in Australia or the United States.
According to Statista (in Forbes), the US has the highest tuition fees world-wide.
The University of Washington estimates that a resident undergraduate student in the liberal arts has to cough up over USD 4250 per month. The average monthly salary of a high school teacher in the United States is $4750.
In Germany, the cost of living is considerably less than in the United States. At the famous Humbold University in Berlin students need less than €800 (=USD 950) per month to cover all costs. The average monthly salary of a high school teacher in Germany is €4800 (USD 5600).
Mencari Frasa
Lengkapilah frasa bahasa Indonesia di bawah ini. Lihat teks untuk jawaban yang benar.”
Bacaan
Sibuk Tolak LGBT, Ilmu Pengetahuan Tertinggal
- Kita berada dalam kegelapan apabila kita menolak ilmu pengetahuan sebagai cahaya penuntun kita berjalan, termasuk yang berkenaan dengan LGBT. Opini Nadya Karima Melati.
- Dalam kurun waktu tiga tahun ini sesungguhnya sudah lebih dari lima universitas baik dari pihak rektorat maupun forum kemahasiswaan yang juga disponsori oleh universitas membuat seminar, pernyataan maupun demonstrasi terang-terangan menolak LGBT. Sebut saja Universitas Lampung (2015), Universitas Indonesia, Institut Teknologi Bandung, Universitas Riau, Universitas Tadulako, Universitas Garut (2016) dan tentu saja yang terakhir Universitas Andalas (2017) yang terang-terangan meminta surat pernyataan bukan LGBT.
- Penolakan berbagai universitas ini bukan tanpa alasan, karena pada tahun lalu, menteri pendidikan tinggi Republik Indonesia Muhammad Natsir menyatakan melarang LGBT masuk kampus. Pelarangan dan penolakan ini hanyalah viral saja dari pernyataan ‘bapak menristek’.
- Hal yang dilakukan para universitas ini merupakan potret kemajuan ilmu pengetahuan di Indonesia saat ini, mandeg, tidak ada kemajuan sama sekali.
- Universitas sebagai institusi pendidikan telah membuktikan sendiri bahwa mereka gagal mendidik melalui tindakannya yang mendiskriminasi minoritas seksual. Tulisan ini menjelaskan bahwa ilmu pengetahuan tidak berkembang di Indonesia karena ulah budaya dari dalam kampus itu sendiri.
- Menteri pendidikan yang sebelumnya, Muhammad Nuh, pernah membuat target angka kasar setidaknya 30% pelajar lulusan Sekolah Menengah Atas mampu melanjutkan pendidikannya ke jenjang lebih tinggi.
- Namun bergantinya pemerintahan tidak memberikan perubahan yang begitu berarti. BPS mencatat setidaknya ada 689.181 orang mampu berkuliah di tahun 2015 sedangkan jumlah pelajar SMA adalah 4.232.572 orang. Artinya hanya 16% lulusan SMA yang mampu melanjutkan sekolah ke perguruan tinggi.
- Secara kasar pula bisa kita lihat mengapa sangat sedikit jumlah pelajar yang mampu melanjutkan sekolahnya ke jenjang universitas atau institut yakni karena jumlah universitas dan perguruan tinggi yang masih terbatas dan masalah biaya kuliah yang mahal. Sudah banyak laporan mahalnya biaya kuliah di perguruan tinggi sehingga banyak yang memang berkuliah bukan untuk mendapatkan pendidikan lebih lanjut dan hanya mengejar gelar.
- Dan kampus memenuhi kebutuhan tersebut, bertindak seperti mesin pencetak gelar. Lebih khususnya mencetak gelar dengan manut saja perintah atasan tanpa berpikir ulang. Apa yang dilakukan kampus dengan menuruti begitu saja perintah menteri dan menutup diri untuk memahami LGBT seperti kuda yang dicocok hidungnya. Lebih buruk lagi karena pak menteri sebenarnya sudah menarik ulang pernyataannya, tetapi pihak universitas tidak melakukan verifikasi dan terus mengikuti perintah yang pertama. Kampus sebagai lembaga yang harusnya memberikan fasilitas dan dorongan untuk berpikir kritis sudah gagal.
- Belum lagi penelitian para mahasiswa yang dianggap harus ‘politically correct’. Saya dengan organisasi saya SGRC pernah mendapati seorang mahasiswa yang harus merevisi keseluruhan skripsinya karena terdapat kata ‘Gay’ pada judul skripsinya, revisi ini tidak tanggung-tanggung diminta satu hari sebelum dia maju sidang.
- Kampus seharusnya membebaskan para mahasiswanya karena universitas adalah ladang untuk berpikir bebas. Tanpa berpikir melampaui batas-batas, tidak akan ada penemuan baru. Selama mahasiswa bertanggungjawab secara metode dan mau mengerjakan penelitiannya sesuai dengan batas waktu yang ditentukan, pihak universitas harusnya mendorong dan menjamin hak para mahasiswa untuk berpikir. Universitas harusnya tahu bahwa penelitian tidak selalu tentang hal yang baik-baik dan menyenangkan penguasa.
- Akibatnya dari kampus yang tidak berpikir kritis ini nyata: kegelapan ilmu pengetahuan dan kebodohan yang dipelihara jadi budaya. Lihat saja bagaimana kemajuan-kemajuan sosial seperti penemuan identitas keragaman gender di masyarakat ditolak dengan argumen moral, bukan argumen kritis dan ilmiah seperti yang seharusnya dilakukan para akademisi. Mengapa bisa begitu? Karena akademisinya sendiri miskin bacaan dan tidak mau terbuka dengan pengetahuan baru.
- Kemajuan-kemajuan di bidang sains misalnya telah mengakui adanya interseks, kondisi manusia yang dilahirkan dengan kromosom XXY atau YYX yang membuat jenis kelaminnya tidak bisa dikategorikan laki-laki atau perempuan. Dalam bidang psikologi, WHO mengeluarkan klasifikasi penyakit ICD-10* menyatakan homoseksualitas tidak lagi termasuk dalam gangguan jiwa.
- Dalam bidang antropologi pengakuan akan identitas gender yang beragam justru ditemukan oleh peneliti asing di negeri kita sendiri, Indonesia, tepatnya di Bugis, Sulawesi Selatan yang memiliki lima gender: laki-laki, perempuan, calalai, calabai dan bissu**.
- Beberapa negara maju secara ekonomi dan ilmu pengetahuan seperti Australia bahkan telah menerima gender ketiga ‘gender X’ sebagai identitas yang diakui negara. Tapi kita tidak tahu atau tidak mau menerima semua kemajuan itu dengan alasan moral, dan sedihnya argumen itu dilontarkan oleh warga kampus.
- Kita benar-benar akan berada dalam kegelapan apabila kita menolak ilmu pengetahuan sebagai cahaya penuntun kita berjalan, termasuk yang berkenaan dengan LGBT.
- Apakah kita tidak mau belajar dari sejarah Eropa yang berada pada masa kegelapan ilmu pengetahuan pada abad ke 11-15 — ketika ilmu pengetahuan diberangus para pemikir lari ke negeri seberang: Persia atau Andalusia.
- Bukankah ini juga yang terjadi pada kita hari ini? Peneliti dan akademis yang serius menyadari bahwa mereka ditentang ketika berusaha untuk berpikir kritis di negeri sendiri? Kini semua orang senang dengan tren agama mayoritas sebagai penentu moral dan mereka sedang menuntun bangsa dalam kegelapan.
Larangan berpikir kritis di kampus
Gelap ilmu pengetahuan di tangan akademisi
Akankah Ada Masa Depan?
*) ICD-10 is the 10th revision of the International Statistical Classification of Diseases and Related Health Problems (ICD), a medical classification list by the World Health Organization (WHO). It contains codes for diseases, signs and symptoms.
** See the Wikipedia entry on Gender in Bugis Society.
Deconstruction
The first sentence of paragraph 2 is very complex, and easier to understand when a few more commas and dashes are added:
Dalam kurun waktu tiga tahun ini, sesungguhnya sudah lebih dari lima universitas – baik dari pihak rektorat maupun forum kemahasiswaan yang juga disponsori oleh universitas – membuat seminar, pernyataan maupun demonstrasi, terang-terangan menolak LGBT.
Subject and predicate of the main clause are lima universitas (five universities) and membuat seminar, pernyataan maupun demonstrasi (organised seminars, declarations, as well as demonstrations).
The relative clause yang juga disponsori oleh universitas (which are also sponsored by the universities) modifies its head noun forum kemahasiswaan (student forums). Here the author emphasises the fact that even the student organisations are university sponsored.
The last part, terang-terangan menolak LGBT can be interpreted in two ways: Either it is a relative clause in which the relative pronoun yang has been omitted: ‘seminars, declarations and demonstrations which forthrightly reject LGBTs’, or it constitutes a second predicate: ‘the five universities … forthrightly reject LGBTs’.
Paragraph 9 contains another sentence, which is grammatically problematic as there is no obvious predicate for the subject of the main clause:
Apa yang dilakukan kampus dengan menuruti begitu saja perintah menteri dan menutup diri untuk memahami LGBT seperti kuda yang dicocok hidungnya.
What the university did by blindly following the minister’s order, is like a horse whose nose has been pierced.
Here, the phrase seperti kuda yang dicocok hidungnya functions as the predicate. The author uses the image of a horse with a nose ring as a metaphor for the university (kampus). Nose rings are used to control animals, especially bulls, but they are not generally used for horses.
Latihan Pemahaman
Jawablah pertanyaan-pertanyaan di bawah ini.
Kosa Kata
Alasan
The translation of alasan is relatively straightforward: ‘reason, motive, cause’:
Dia melakukannya tanpa alasan apa-apa.
He did it without any reason.
Itu bukan alasan!
That’s no excuse!
Apart from ‘excuse’, alasan also takes the meaning ‘(false) excuse, pretext’:
Bahwa dia mencari kacamata yang tertinggal hanya alasan saja. Sebenarnya dia datang untuk mencuri.
That he was looking for his eye glasses is nothing but a pretext. He came to steal.
The word alasan is derived from the root alas ‘stand, foundation, base’. Hence alasan also has its original meaning ‘basis, foundation, ground’ as, for instance, in alasan hukum ‘legal grounds’.
The essential meaning of alas is ‘something, on which something else is placed’. Here are some examples:
alas kaki
footwear
alas bunga
torus, receptacle
alas cangkir
saucer
alas meja (=taplak meja)
tablecloth
alas makan (=tatakan)
placemat
Predicate Nominalisation
A predicate which contains a verb or an adjective can be nominalised by adding the suffix -nya. The subject of the clause becomes a possessor in the nominalised construction.
The process is illustrated with the following clause:
Beberapa jalan ditutup.
Several roads were closed.
(i) The verb is placed before the subject and -nya is attached to it; the subject now acts as possessor to the nominalised verb:
Ditutupnya beberapa jalan
the closure of several roads
(ii) The whole construction is now a noun phrase, which can occur in a larger construction, italicised in the following example:
Lalu lintas menjadi macet karena ditutupnya beberapa jalan.
Traffic became jammed because of the closure of several roads.
(Source: Sneddon 3.136) Continue to read Sneddon 3.136-142. Then browse through the text and mark each nominalised verb or adjective (in Paragraphs 7, 8, and 15).
More on ke-…-an Nouns
Most ke-…-an nouns are based on adjectives and form abstract nouns, e.g. tinggi (high), ketinggian (altitude). But some ke-…-an nouns are based on nouns. The ke-…-an forms in general mean ‘having to do with [base]’. Often these ke-…-an nouns modify another noun:
Kaidah kebahasaan
Linguistic principles
Ilmu kedokteran
Medical science
Forum kemahasiswaan
Student forums (student organisations)
For a more detailed discussion refer to Sneddon 1.81-6.
Latihan Mendengarkan
Lengkapilah teks berikut sesuai dengan rekaman.
Isian 1
Gunakan kata-kata di samping teks untuk melengkapi teks rumpang di bawah ini.
Isian 2
Gunakan kata-kata di dalam tabel untuk melengkapi teks rumpang di bawah ini.
menentukan | menolak | penolakan | menyatakan | pernyataan |
membuktikan | menuruti | menjelaskan | melanjutkan | mengejar |
Kosa Kata
Ulas dan hafalkan kosa kata di bawah ini.
Teka-Teki Mencari Kata
Usahakan untuk menyelesaikan teka-teki ini dalam waktu kurang dari 4 menit.